Kamis, 13 Maret 2008

JEND. TNI (PUR) WIRANTO

Janjikan Perlindungan HAM


Mantan Panglima ABRI Jenderal (Purn) Wiranto dan Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Salahuddin Wahid dideklarasikan sebagai calon presiden dan wakil presiden dari Partai Golongan Karya. Pasangan ini menawarkan lima agenda penyelamatan bangsa. Wiranto yang diterpa tuduhan terlibat pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam kasus kerusuhan Mei 1998 dan Timor Timur berjanji akan menegakkan hukum dan perlindungan HAM.

Wiranto berkeyakinan bahwa sinergi yang saat ini mereka bangun akan menjadi modal untuk mencapai sukses pemerintahan 2004-2009 yang akan datang, yaitu pemerintah yang kuat dan efektif guna memenuhi harapan seluruh rakyat Indonesia yang tenteram, aman, dan sejahtera.

Dalam pidato yang disampaikan pada acara "Permohonan Doa Restu" di Gedung Bidakara, Jakarta, Selasa 11 Mei 2004, Wiranto menegaskan kembali tekadnya untuk memimpin pemerintahan hanya selama satu periode. Ia percaya banyak generasi muda di bawahnya yang lebih cerdas, muda, berani, dan berpotensi untuk meneruskan segala upaya yang ia lakukan selama satu periode.

Kelima agenda penyelamatan bangsa yang mereka tawarkan itu adalah: Pertama, penegakan hukum dan perlindungan HAM serta menjamin keamanan nasional. Kedua, mewujudkan pemerintahan yang baik. Ketiga, melaksanakan pembangunan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, terutama mengentaskan kemiskinan dan menyediakan lapangan kerja bagi penduduknya, pelayanan kesehatan pada masyarakat kecil. Keempat, mengajak pemerintah, masyarakat, dan swasta untuk bersama-sama memperbaiki sistem pendidikan nasional. Kelima, melakukan langkah rekonsiliasi nasional.

***

Namanya cukup fenomenal dalam derap awal langkah reformasi di negeri ini. Kini, setelah mencermati perjalanan reformasi dalam lima tahun terakhir, mantan Panglima ABRI ini sungguh merasa terpanggil dan siap menjadi Presiden Republik Indonesia ke-6 untuk meluruskan dan mewujudkan tujuan reformasi yakni Indonesia Baru yang lebih demokratis, lebih aman, adil dan sejahtera. Ia seorang putera bangsa yang diyakini mampu mewujudkan ‘mimpi’ reformasi negeri ini.

Ia pun resmi menjadi Calon Presiden Partai Golkar setelah memenangkan Konvensi Nasional Calon Presiden partai beringin, itu Selasa 20 April 2004. Mantan Panglima TNI ini menang melalui dua putaran pemungutan suara. Di putaran kedua, ia mengalahkan Ketua Umum DPP Partai Golkar Akbar Tandjung yang semula diunggulkan dengan skor 315 -227 suara, dengan abstain 1 dan tidak sah 4 suara.

Pada putaran pertama ia masih diungguli Akbar Tandjung dengan perolehan suara 147-137. Disusul Aburizal Bakrie 118, Surya Paloh 77 dan Prabowo Subianto 39 suara, dengan 28 suara tidak sah dan 1 suara abstein. Namun pada putaran kedua limpahan suara dari kandidat lain lebih banyak beralih ke Wiranto. Diduga berkat kuatnya loby tim sukses Wiranto. Selepas putaran pertama Wiranto sempat bertemu Aburizal Bakrie dan Prabowo. Sementara Surya Paloh dan Wiranto sejak awal sudah menyatakan saling mengalihkan suara jika salah satu masuk putaran kedua. (Berita: Wiranto Capres Golkar)


Keikutsertaannya dalam Konvensi Calon Presiden Partai Golkar merupakan langkah awal untuk mewujudkan keterpanggilannya membalas budi kepada bangsa dan negaranya. Sebab ia berkeyakinan untuk dapat berbakti secara optimal, haruslah dalam jabatan presiden sebagai posisi kunci sesuai sistem ketatanegaraan.

Maka ia dengan tekad bulat mempersiapkan diri untuk menjadi Presiden Republik Indonesia 2004–2009, satu periode saja. Ia yakin akan mampu mengatasi berbagai masalah yang dihadapi bangsa ini sekaligus meluruskan dan mewujudkan tujuan reformasi yang belakangan makin salah arah.

"Inilah saatnya saya membalas budi kepada bangsa dan negara yang telah memberikan kesempatan, kehormatan, dan kepercayaan kepada saya yang bukan apa-apa menjadi orang berguna,” ujar putera bangsa kelahiran Yogyakarta 4 April 1947, itu kepada TokohIndonesia DotCom, mengulangi pernyataan yang sering dikemukakannya pada beberapa kesempatan. Ia mengatakan tatkala bangsa ini sedang terluka dan terlunta- lunta, sangat berdosa kalau kita tidak berbuat apa-apa.

Jabatannya selaku Panglima ABRI, saat reformasi mulai digulirkan, telah menempatkannya pada posisi strategis dan sangat berpengaruh pada setiap gerak reformasi itu. Namanya cukup kontroversial sekaligus fenomenal pada awal reformasi digulirkan itu. Saat itu, ia dihadapkan pada situasi yang sungguh sulit.

Ketika itu, ada kasus penculikan aktivis. Demonstrasi mahasiswa yang setiap hari makin membesar. Terjadi Peristiwa Trisakti, Kerusuhan Mei 1998 dan Peristiwa Semanggi. Opini yang berkembang bahwa institusi dan oknum TNI terlibat di dalamnya, bahkan TNI dituduh sebagai pihak yang merancang dan meledakkan beberapa peristiwa itu. Sehingga kemudian para oknum dan pemimpin TNI/Polri dituduh telah melakukan pelanggaran HAM berat.

Suatu rentetan tuduhan yang amat menyakitkan baginya dan bagi jajaran TNI/Polri. Tapi dengan tabah dan cerdas, ia menangani masalah itu dan berulangkali memberi penjelasan bahwa hal itu jelas tidak mungkin dilakukan TNI/Polri. Ketika itu, ia berulangkali mengimbau mahasiswa agar untuk sementara tidak berdemonstrasi di luar kampus karena terbukti dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk membuat kekacauan.

Pada saat Presiden Soeharto menyatakan mundur dan menyerahkan kekuasaan kepada Presiden B.J. Habibie, tanggal 21 Mei 1998, Wiranto menunjukkan kemampuan kearifan secara benar dan konstitusional. Ketika itu, ia mengambil-alih mikrofon serta mengumumkan pernyataan politik ABRI yang antara lain berbunyi: "Menjunjung tinggi nilai luhur budaya bangsa, ABRI akan tetap menjaga kehormatan dan keselamatan para mantan presiden termasuk Presiden Soeharto."

Keberanian dan kearifan Wiranto mengeluarkan pernyataan tersebut telah menyelamatkan bangsa Indonesia dari kemungkinan menjadi bangsa barbar. Sebab jika tidak, sangat mungkin ribuan massa yang emosional bergerak dari gedung DPR/MPR-RI untuk melakukan apa yang disebut pengadilan rakyat terhadap mantan Presiden Soeharto dan keluarganya.

Di samping itu, pernyataannya itu, telah berhasil menciptakan suatu kondisi sehingga pelaksanaan peralihan kepemimpinan berlangsung dengan tertib dan selalu berpijak kepada konstitusi. Padahal, sesuai kewenangan yang ada padanya, ia berpeluang untuk mengambil-alih kekuasaan.

Konon, menjelang Presiden Soeharto berhenti sebagai Presiden, ia selaku Menhankam/Pangab mendapat semacam "Super Semar", yakni Instruksi Presiden No 16/1998 tertanggal 18 Mei 1998, yang mengangkatnya sebagai Panglima Komando Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional. Instruksi Presiden itu memberikan wewenang untuk menentukan kebijaksanaan tingkat nasional, menetralisir sumber kerusuhan. Serta semua menteri dan para pejabat tingkat pusat/daerah diinstruksikan oleh Presiden untuk membantu tugas pokok Panglima tersebut.

Tetapi ia tidak memanfaatkan instruksi tersebut untuk membuka kesempatan baginya mengambil-alih kekuasaan. Ketika itu, Letjen Susilo Bambang Yudhoyono yang menjabat Kasospol menanyakan kepadanya, “Apakah Panglima akan mengambil-alih kekuasaan?" Dengan tegas ia jawab, "Tidak, kita akan menghantar pergantian kekuasaan secara konstitusional!"

Ia lebih mengutamakan kepentingan bangsanya daripada menuruti ambisi pribadi. Ia memahami bahwa dengan mengambil-alih kekuasaan masalah kebangsaan tidak akan terselesaikan, bahkan mungkin lebih buruk lagi.

Secara konsisten sikap yang sama diambil tatkala dicalonkan sebagai wakil presiden. Ia dua kali dicalonkan sebagai wakil presiden dan kedua kesempatan itu dilepaskannya dengan pertimbangan tanggungjawabnya sebagai penjaga keamanan negerinya.

Pertama, saat diminta mendampingi pencalonan kembali Presiden B.J. Habibie (sebelum Laporan Pertanggungjawabannya ditolak MPR), ia mundur karena menyadari bahwa tidak mungkin ikut dalam proses rivalitas kepemimpinan nasional sambil bersamaan memimpin pengamanan proses itu sendiri. Ibaratnya wasit sepak bola ikut sebagai pemain pada salah satu kesebelasan.

Kedua, saat bersaing dengan kandidat lainnya termasuk Megawati Soekarnoputri, ia justru memutuskan mundur karena kuatir akan adanya amuk massa apabila pesaingnya dikalahkan sebagaimana pada saat pemilihan presiden saat itu. Bali dan Solo sudah terbakar akibat kekecewaan massa pendukung yang fanatik atas kekalahan Megawati dalam pemilihan presiden. "Saya tak ingin mendapatkan kekuasaan di atas korban dan puing-puing bangsa saya," tegas mantan Ajudan Presiden Soeharto ini.

Maka tak heran bila Anthony Spaeth, dalam "General Wiranto is The Man to Watch," Time, edisi 1 Juni 1998, menuturkan: "Fakta yang menunjukkan bahwa ia tidak mau mengambil jabatan nomor satu memperlihatkan jiwa besar dan loyalitasnya. Dengan mendukung suksesi yang tertib dan konstitusional, Wiranto yang berpembawaan sangat tenang itu, telah menempatkan posisinya pada posisi kuat."

Secara lebih rinci dan jelas, Wiranto menguraikan berbagai pengalaman dan peristiwa yang dilaluinya pada setiap situasi itu dalam buku ‘Bersaksi di Tengah Badai’ dan ‘Mengenal Wiranto Calon Presiden RI 2004-2009’. Kedua buku ini diterbitkan oleh Institute for Democracy of Indonesia, 2003.

Reformis
Jika ditelusuri secara cermat, beberapa tindakan nyata yang dilakukannya pada awal bergulirnya reformasi itu, sesunggunya ia adalah pelaku reformasi menuju tujuan yang benar yakni mewujudkan Indonesia Baru yang demokratis, adil dan sejahtera. Ia malah sangat kecewa melihat cara berpikir dan tindakan beberapa orang yang menamakan diri reformis yang justeru benar-benar berwatak status quo, tidak bisa melihat dan mengakui berbagai perubahan di sekeliling karena takut kehilangan retorika.

Sementara, ia selaku Panglima TNI bersama segenap jajarannya, telah melakukan banyak hal untuk mendukung proses reformasi agar berjalan secara konstitusional, konseptual, dan pada arah yang benar. Pertama, ia menyetujui pendapat akhir Fraksi ABRI pada persidangan SU-MPR Maret 1998, yang menyatakan bahwa reformasi merupakan keharusan yang tak terelakkan.

Menjelang Presiden Soeharto berhenti sebagai presiden, ia mengusulkan dibentuk suatu komite reformasi guna membantu Presiden memenuhi tuntutan rakyat. Pada Juni 1998, ia membentuk tim yang menyusun pokok-pokok pikiran ABRI tentang reformasi menuju pencapaian cita-cita nasional yang hasilnya kemudian diserahkan secara resmi kepada pemerintah dan pimpinan DPR/MPR-RI.

Pada April 1999, Polri dipisahkan dari ABRI dan selanjutnya ABRI kembali menjadi TNI. Selanjutnya, pada Juni 1999, ia melakukan reformasi internal ABRI melalui suatu seminar di Bandung yang menghadirkan pakar-pakar dari sipil dan militer, dalam dan luar negeri, yang hasilnya dinamakan Peran ABRI abad 21.

Rumusan tersebut merupakan langkah-langkah ABRI untuk memastikan posisi yang tepat dalam menyongsong Indonesia masa depan, yang antara lain berisi penghapusan kekaryaan ABRI, penghapusan Dwi Fungsi ABRI, dan menempatkan TNI pada posisi netral dalam percaturan politik nasional. Kemudian diikuti pengurangan jumlah fraksi TNI/Polri di DPR-RI dari 75 menjadi 38 saja.

Maka tak berlebihan kesaksian Hamzah Haz, Wakil Presiden RI, dalam ‘Orang Berkata Tentang Wiranto, 2001” yang menyatakan: "Dari seorang Wiranto, saya menemukan sosok tentara yang reformis, sederhana dan mau mendengar pendapat orang."

Tekun dan Gigih
Ia kini menjadi seorang kandidat Presiden 2004-2009. Seorang prajurit pejuang yang tidak mengenal akhir dalam pengabdian kepada bangsa dan negaranya. Ia seorang putera bangsa yang mempunyai track record dan pengalaman dalam mengatasi berbagai masalah kebangsaan. Ia menjadi pesaing yang sangat memungkinkan dapat mengalahkan calon-calon presiden dari partai lain.

Disiplin, kejujuran, ketekunan dan kegigihan yang telah mendarah-daging sejak kecil dalam dirinya, telah menempanya menjadi pemimpin yang andal. Ia meniti karir dengan tekun dan gigih hingga mencapai jabatan puncak di institusi TNI (ABRI). Padahal, ia datang dari sebuah keluarga sederhana dengan ekonomi pas-pasan. Ayahnya RS Wirowijoto, yang sering dipanggil Pak Mantri, hanya seorang guru Sekolah Rakyat. Namun Sang Ayah telah membimbingnya untuk tekun dan gigih. Begitu pula ibunya Suwarsijah telah mengasuhnya penuh kasih dan menjadi seorang muslim yang bersahaja.

Ia dilahirkan di Yogyakarta pada 4 April 1947. Di tengah serbuan Belanda ke Yogyakarta, orang tuanya harus membawa Wiranto kecil, yang baru berumur satu bulan, pindah ke Solo dengan naik andong. Kuda yang menarik andong (dokar) itu mati dalam perjalanan. Di kota Solo inilah dia mengisi masa kanak-kanak dan remajanya. Di situ ia menempuh pendidikan formalnya dari sejak Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA).

Saat kecil ia sering dipanggil Ento. Nama Wiranto sendiri diberikan oleh ibunya yang diambil dari kata Jawa wira dan anto yang artinya anak yang berani atau anak yang kelak diharapkan selalu mengedepankan kebenaran. Pengasuhan Sang Ibu sangat banyak mempengaruhi pembentukan jati dirinya.

Ia putera keenam dari sembilan bersaudara. Mereka hidup sederhana. Meski demikian keluarga ini tidak pernah menghalalkan segala cara untuk memenuhi kebutuhan dan meraih harapannya. Mereka hidup rukun dan penuh kekeluargaan. Kesulitan hidup yang dihadapi, mendorong mereka untuk saling mendukung dan saling berbagi. Daya tahan dan pengendalian diri yang terbina dalam keluarga ini telah pula menempanya menjadi seorang yang jujur, tekun dan gigih.

Sejak kecil ia sudah terbiasa mengendalikan keinginan dan pengaruh lingkungannya. Ia sudah terdidik untuk tidak melakukan tindakan yang bertentangan dengan prinsip kejujuran dan hal-hal yang di luar kemampuannya. Orangtuanya senantiasa menasihati agar ia memiliki keyakinan yang kuat dan ketakwaan yang tinggi.

Sejak masa kanak-kanak ia sudah terdididik untuk selalu hidup berdisiplin. Ia, misalnya, sudah harus bangun sepagi mungkin untuk membantu tugas tugas keluarga. Watak, sifat, dan kedisiplinannya mewarisi karakter dan kedisiplinan ayahnya yang berprofesi sebagai guru yang juga mendalami kebatinan Jawa. Begitu pula ibunya, yang dikenal sangat ketat dan tegas paling berperan dalam membentuk kepribadian Wiranto.

Ia termasuk anak yang sangat peduli dengan kewajiban dalam keluarga. Selepas pulang sekolah, misalnya, ia selalu menawarkan diri kepada ibunya tentang pekerjaan yang harus dilakukannya. Bahkan, tak jarang ia juga menawarkan diri untuk berbelanja urusan rumah tangga di pasar.

Ia tergolong seorang pendiam, hanya berbicara seperlunya. Tapi ia seorang yang disenangi teman-temannya. Sebab sejak kecil ia tergolong orang yang kaya ide dan pemikiran yang cukup kritis dan inovatif. Ia sering membuat kegiatan-kegiatan yang sifatnya baru. Sehingga, teman yang lain menjadi sangat senang.

Ia juga orang yang sejak kecil telah terlatih untuk madiri. Saat di TK saja ia tidak pernah lagi diantar. Saat SD dan SMP pun ia berjalan kaki menempuh jarak sekolahnya cukup jauh. Dan, sejak TK, SD, SMP, dan SMA, ia tergolong anak yang pandai. Di kalangan teman-teman sepermainan, ia menjadi pemimpin dan panutan.

Kondisi keluarga ini sangat berpengaruh dalam menyalakan cita-citanya. Sejak kecil ia sudah bercita-cita menjadi tentara. Pada saat remaja, cita-citanya sempat berubah ingin menjadi arsitek. Namun, cita-cita itu tidak kesampaian karena faktor ekonomi. Akhirnya, ia masuk AMN yang dibiyai negara.

Biarpun semasa kecil ia sudah bercita-cita menjadi tentara, tetapi tidak pernah membayangkan bahwa suatu saat akan menjadi orang nomor satu di lingkungan ABRI, apalagi menjadi calon nomor satu di negeri ini. Tapi berkat ketekunan dan kegigihannya, lulusan AMN 1968 ini telah menjabat Panglima ABRI pada tahun 1998 menggantikan pendahulunya Jenderal Feisal Tanjung lulusan AMN 1961.

Kesederhanaan hidup keluarga ini tetap tidak berobah manakala Wiranto telah mencapai puncak karir di TNI. Mereka tak mau memanfaatkan kedudukan dan posisi Jenderal Wiranto untuk keuntungan maupun fasilitas keluarga. Keluarganya tetap memilih hidup sederhana.

Watak yang tumbuh pada pribadi Wiranto dan saudara-saudaranya tampaknya tidak lepas dari didikan kuat ibunya. Hal ini bisa tercermin dari sikap ibunya yang sudah sepuh, menolak keinginan Wiranto untuk mengiriminya sebuah mobil. "Bagaimana nanti nasib tukang becak langganan saya yang mangkal di ujung gang jalan sana?" kata ibunya menolak.

Bahkan memperbaiki rumah tinggal keluarganya, ibunya pun keberatan, khawatir kalau para tetangga justru tidak datang lagi. Akhirnya, rumah tempat tinggal mereka di Solo hingga ibunya wafat, dibiarkan sampai keropos. Barulah setelah ibunya meninggal rumah tempat tinggal keluarga itu diperbesar dan dibangun dalam bentuk rumah padepokan yang terbuka dan digunakan untuk kepentingan kegiatan kampung seperti pengajian, arisan atau bahkan pengantenan.

Jejak Karir
Banyak orang yang sudah lama mengenal sudah memperkirakan karier Wiranto akan terus menanjak. Karena ia dinilai sebagai perwira berusia muda yang tampil cemerlang dengan ide-ide segarnya di setiap bidang tugas yang dipercayakan kepadanya.

Ia memang menjejaki jenjang pendidikan dan karirnya dengan catatan prestasi yang baik, bahkan sebagian besar dengan predikat terbaik. Misalnya Kursus Intelijen di Bogor 1972, Kursus Pembinaan Latihan Satuan di Bandung 1974, Kursus Lanjutan Perwira di Bandung 1975, Seskoad di Bandung 1982, dan Lemhannas di Jakarta 1995.

Kata kuncinya adalah disiplin, kejujuran, ketekunan dan kegigihan. Saat orang lain belajar, ia pun belajar. Saat orang lain isterahat, ia masih tetap belajar. Maka, tidak mustahil kalau ia lebih menguasai persoalan dari yang lain. Kiat yang sangat sederhana dan realistis.

Ketekunan dan kegigihan yang berorientasi prestasi, bukan berorientasi jabatan, itu telah membuahkan jenjang karirnya terus menanjak. Selepas menyelesaikan pendidikan (dilantik) di Akademi Militer Nasional, Magelang (lulus 1968), ia mengawali penugasannya sebagai Perwira Pertama di Korps Kecabangan Infantri (1968). Kemudian menjadi Komandan Peleton Yonif 713 Gorontalo, di sana ia bertugas selama tujuh tahun. Di situ pula ia menemukan jodoh, Rugaiya Usman, SH, puteri Gorontalo, yang dinikahinya tanggal 22 Februari 1975, menjadi keluarga bahagia dan dikaruniai tiga orang anak (dua orang puteri dan satu putera).

Kemudian ia menjabat Komandan Yonif 712 (1982), Karo Teknik Dirbang (1983), Kadep Milnik Pusif (1984), Kepala Staf Brigade Infanteri IX, Jawa Timur (1985), Wakil Asisten Operasi Kepala Staf Kostrad, Jakarta (1987) dan Asisten Operasi Divisi II Kostrad, Jawa Timur (1988).

Selain menekuni dengan gigih setiap jenjang jabatan yang dipercayakan padanya, ia juga tekun mengikuti berbagai pendidikan, latihan dan kursus yang bersifat pengembangan umum dan spesialisasi. Antara lain Sussar Para (1968), Sussarcab Infantri (1969), Susjur Dasar Perwira Intelijen (1972), Suslapa Infantri (1976), Suspa Binsatlat (1977), Sekolah Staf dan Komando TNI AD (1984) dan Lemhanas (1995) sebagai Peserta Terbaik.

Dengan dedikasi dan kemampuan yang dimilikinya, ia pun kemudian diangkat menjadi Ajudan Presiden selama empat tahun (1989-1993) dengan pangkat kolonel. Untuk jabatan itu, ia menyisihkan 14 calon terbaik dari seluruh satuan TNI-AD. Setelah itu, ia dipercaya menjabat Kasdam Jaya selama 18 bulan (1993-1994), jabatan yang menghantarnya memasuki jenjang pangkat perwira tinggi (Brigjen). Kemudian selama 15 bulan (1994-1996) ia menjabat Pangdam Jaya dengan pangkat Mayjen. Pada saat memangku jabatan ini dia melakukan gebrakan dengan menggalakkan Gerakan Disiplin Nasional (GDN).

Karirnya terus menanjak, pada tahun 1996-1997 ia dipercaya menjabat Panglima Kostrad dengan pangkat Letjen. Pada saat itu, sekali lagi dia menunjukkan keberhasilan dalam penggelaran latihan gabungan ABRI di pulau Natuna, suatu latihan terbesar dan terjauh yang pernah dilakukan ABRI.

Setelah satu tahun lebih menjabat Pangkostrad, ia pun diangkat menjabat Kepala Staf Angkatan Darat (1997-1998) dengan pangkat Jenderal. Jabatan yang dipangkunya selama 8 bulan itu antara lain digunakan untuk menggalakkan program ABRI Manunggal Pertanian tatkala Indonesia sangat terpukul dengan krisis pangan pada tahun 1997. Sampai akhirnya, pada usianya 50 tahun, ia mendapat kepercayaan menjabat sebagai Panglima ABRI yang satu bulan kemudian dirangkap dengan jabatan Menhankam Kabinet Pembangunan VII (1998). Jabatan ini tetap dipercayakan padanya pada Kabinet Reformasi Pembangunan - BJ Habibie (1998-1999).

Pada saat menjabat Menhankam/ Pangab inilah dia mengambil keputusan berani dan arif mengawal proses reformasi menuju tujuan yang tepat. Antara lain ia melakukan reformasi internal ABRI, memisahkan Polri dari ABRI, serta memisahkan ABRI dari Golkar agar dapat bersikap netral dan tidak masuk dalam politik praktis.

Kariernya belum terhenti sampai pada pemerintahan Presiden BJ Habibie. Pada pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, ia pun diajak untuk menyusun kabinet dan sekaligus dipercaya menjadi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menko Polkam).

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

Tidak ada komentar: